Eiffel...I'm In Love 2 (2018)


Eiffel...I’m In Love 2 ialah produk budaya Indonesia terkait pernikahan. Pernyataan “Menikah jangan ditunda-tunda” atau pertanyaan “Kapan nikah?” pun jamak mampir di indera pendengaran kita, termasuk indera pendengaran Tita (Shandy Aulia). Bayangkan, sudah 12 tahun ia berpacaran dengan Adit (Samuel Rizal) tapi perahu rumah tangga tak kunjung ditempuh. Bagi kebanyakan masyarakat kita, itu permasalahan besar. Bagi Tita, menanti kalimat “will you marry me?” dari Adit makin usang makin meresahkan. Apakah Adit benar-benar serius menjalani hubungan? Tita kerap mempertanyakan itu.

Sedangkan saya mempertanyakan “Apakah filmnya bisa mengolah informasi kekinian yang kompleks tersebut?”. Alkisah 12 tahun pasca film pertama, Adit dan Tita masih menjalani LDR dengan bentuk interaksi serupa: bertengkar, bertengkar, dan bertengkar. Tita yang manja dan selalu merengek, Adit yang ketus dan galak. Sekilas mereka tidak berubah. Tapi sejatinya ada perubahan besar yang menggiring Eiffel...I’m In Love 2 berpindah jalur dibandingkan pendahulunya, yakni status pacaran dua tokoh utama.
Konon sehabis berpacaran, romantisme berkurang, kekerabatan lebih dingin serta mudah ditebak. Eiffel...I’m In Love 2 terjangkit hal serupa. Elemen kejutan dalam dinamika Adit-Tita memudar, sedangkan konfliknya terjerumus keklisean seputar kesalahpahaman yang mestinya sanggup diselesaikan dengan mudah dan cepat. Pertengahan durasi mudah sekedar diisi jalan-jalan berkeliling Paris sembari diselingi rutinitas obrolan berujung pertengkaran. Obrolan dangkal sekaligus repetitif yang urung digunakan menggali informasi kesepakatan nikah yang diangkat.

Beruntung chemistry Shandy Aulia dan Samuel Rizal kian rekat, hingga efektif menyunggingkan senyum di bibir penonton. Samuel yang semakin matang tidak lagi datar ketika memberikan dialog, sementara Shandy ialah sumber tenaga filmnya. Keduanya menyatu bersama warna-warna lembut dari kamera Yunus Pasolang serta lagu-lagu catchy Melly Goeslaw, membuat rasa manis guna menebus perjuangan pendewasaan kisah yang belum dibarengi naskah mendalam maupun kecanggungan Rizal Mantovani membungkus sederet adegan komedi.
Kekurangan naskah buatan Donna Rosamayna tampak dalam penokohan yang inkonsisten bila disandingkan dengan usungan tema. Eiffel...I’m In Love 2 coba merobohkan anggapan “lebih cepat menikah lebih baik”. Pola pikirnya kekinian, tetapi diisi tokoh-tokoh macam Adit dan Bunda (Hilda Arifin) yang kurang berakal pula mengekang. Khususnya Bunda. Di film pertama, sikapnya masuk nalar mengingat Tita merupakan gadis 15 tahun sekaligus anak bungsu. Bermaksud membangun kontinuitas, balasannya justru huruf yang seolah tak berkembang seiring waktu.

Pesan biar tak menggampangkan kesepakatan nikah memang relevan pada abad ketika banyak orang buru-buru menikah sebab dipandang selaku solusi permasalahan (yang justru memancing duduk kasus lebih besar kala minim persiapan). Andaikan pesan itu disampaikan sedikit demi sedikit sembari menyertakan citra kasatmata ketimbang diringkas di penghujung dan cuma berbentuk petuah. Kekurangan Eiffel...I’m In Love 2 jelas menumpuk. Saya akan mengingatnya sebagai film jelek jikalau bukan sebab beberapa menit terakhir yang berisi ciuman romantis dan perbincangan intim nan menyentuh. Konklusi itu bersifat krusial. Bisa menghancurkan atau melambungkan kualitas film. Eiffel...I’m In Love 2 termasuk golongan kedua.

Komentar