Bayi Gaib: Bayi Tumbal Bayi Mati (2018)


Seorang polisi (Dorman Borisman) tiba di TKP pembantaian sebuah keluarga. Seluruh tulang sang suami remuk, sang istri terguncang dan meracau, sementara bayi mereka tewas kehabisan darah. Adegan pembuka ini tidak punya maksud kecuali menyiratkan fenomena mistis yang akan jadi sentra konflik filmnya, memperkenalkan tokoh sampingan yang cuma berperan menjelaskan fenomena itu pada protagonis, dan menyebutkan sub-judul “Bayi Tumbal, Bayi Mati”. Bukan awal meyakinkan bagi perjuangan seorang KK Dheeraj alias KKD alias Dheeraj Kalwani naik kelas.    

Dheeraj memang bagai sedang berusaha mengubah persepsi publik. Tidak hanya menanggalkan identitas legendaris KKD, semenjak Gasing Tengkorak (2017) rumah produksinya pun mengusung nama  Dee Company, bukan lagi K2K Production. Tidak pula ia menggaet bintang porno luar negeri atau Dewi Perssik sebagai pemain. Lupakan sangkalannya terhadap pernyataan bahwa film ini merupakan remake Bayi Ajaib (1982). Sebab, memeriksa trailer-nya, Bayi Gaib: Bayi Tumbal Bayi Mati tampak well-made. Meski kegagalan production value apik menutupi kelemahan naskah dan penyutradaraan yang berujung merusak film bukan lagi hal gres di industri kita.
Setelah dua tahun, Farah (Rianti Cartwright) dan Rafa (Ashraf Sinclair) kesudahannya mempunyai momongan. Namun begitu putera perdana yang diberi nama Rangga itu lahir, bencana asing mulai menimpa mereka. Rafa dihantui mimpi-mimpi buruk, sementara Farah kerap melihat bayinya dalam wujud mengerikan. Rafa yang skeptis terhadap hal mistik meyakini sang istri menderita baby blues. Pondasi menarik untuk membangun horor psikologis yang sayangnya terlalu malas digali dalam naskah buatan Baskoro Adi Wuryanto.

Satu penyakit akut film horor negeri ini adalah, apa pun sumber terornya, mau ajian janjkematian berbentuk gasing, iblis, santet, atau bahkan imajinasi karakternya, cara yang digunakan untuk menakut-nakuti nihil perbedaan. Hantu akan berlari cepat di balik sofa, muncul di kamar mandi, sampai kasur. Mungkin memang kenyataannya itu daerah favorit makhluk halus. Setidaknya beberapa jump scare punya penempatan waktu yang sempurna sehingga tersaji mengejutkan. Poin plus bagi Rizal Mantovani, tatkala penataan kamera Rudy Novan acap kali menyulitkan penonton untuk mengidentifikasi hal angker apa yang tengah muncul.
Menjalani debut di film horor, Rianti tampak kesulitan menjual kengerian yang meyakinkan. Teriakannya, verbal ketakutannya, urung menyalurkan perasaan serupa kepada penonton. Tidak sanggup sepenuhnya disalahkan. Melihat desain si bayi mistik (atau bayi tumbal? atau bayi mati? Saya tak peduli), tawa memang akan lebih gampang hadir ketimbang rasa takut. Penampilan Ashraf Sinclair cukup sanggup dinikmati, namun lebih dikarenakan tuntutan yang belum sebesar Rianti. Karakter Rafa tidak sesering Farah menerima gangguan mistis.

Ending-nya mengatakan sang pelaku bekerjsama mendatangi kediaman Farah dan Rafa. Untuk apa repot-repot dikala santet yang dikirim terbukti manjur? Lima menit terakhir kolam cerminan kebingungan Baskoro Adi Wuryanto mengenai harus bagaimana kisahnya ditutup. Serupa Gasing Tengkorak, Ruqyah: The Exorcism, Jailangkung, sampai Ghost Diary, film ini dipenuhi detail-detail khas Baskoro yang amat menggelitik dan pasti memberi anda dan teman-teman pengalaman mengasyikkan kala menertawakannya bersama-sama.

Komentar