Jika Alfred Hitchcock ialah master of suspense, maka gelar master of emotion layak disematkan kepada Steven Spielberg. Tidak peduli betapa rumit konspirasi dan pemeriksaan dalam The Post, sang sutradara bakal menyoroti kehidupan personal tokoh-tokohnya guna menitikberatkan gejolak batin mereka. Karakter Spielberg ialah insan dengan perasaan yang tengah berusaha mengatasi kekurangan miliknya demi kebaikan. Alhasil, walau name-dropping maupun gempuran beruntun fakta-fakta kompleks memusingkan anda, filmnya tak pernah terasa kosong. Karena The Post tidak pernah sepenuhnya soal konspirasi pemerintah.
Kita sesekali terpapar beberapa hasil riset belakang layar mengenai keterlibatan Amerika Serikat di Perang Vietnam, yang telah disembunyikan dari publik semenjak masa Harry S. Truman hingga Richard Nixon. Namun, ini bukan Spotlight apalagi All the President’s Men. Investigasi jurnalistik memegang tugas besar, tapi pergolakan personal abjad lebih diutamakan. Pergolakan yang memicu banyak sekali debat ideologi. Ben Bradlee (Tom Hanks), pimpinan redaksi The Washington Post, merasa wajib mempublikasikan riset di atas sesudah The New York Times—media pertama yang mengungkap konspirasi itu—diperintahkan pengadilan untuk berhenti memuat isu tersebut lantaran dianggap membahayakan keberlangsungan pemerintah.
Larangan ini tentunya melanggar amandemen pertama soal kebebasan pers. Ketika Ben berhasrat, Katharine Graham (Meryl Streep) si pemilik surat kabar justru meragu, alasannya ialah The Washington Post sedang berada dalam proses penjualan saham guna mengatasi permasalahan finansial. Sedikit saja timbul masalah, para investor bisa kabur. Belum lagi pria-pria di jajaran direksi kerap mengatur Katharine yang memang kurang tegas dan minim pengalaman. Pun sahabatnya, Robert McNamara (Bruce Greenwood) termasuk salah satu pihak yang paling dirugikan atas terbongkarnya konspirasi. Seberapa besar seseorang bersedia berkorban demi kebenaran?
Dalam pertukaran ideologinya, Spielberg terkadang membiarkan para bintang film memainkan intensitas adegan. Sebab, menyatukan Hanks dan Streep di layar sudah lebih dari cukup. Seperti tampak di momen pertama Katharine dan Ben bersama, ketika Spielberg tak menggerakkan kamera dalam satu take panjang. Dinamika suasana tumbuh secara alamiah seiring keduanya saling melempar opini dan lelucon. Hanks, sebagaimana biasa, memancarkan pesona magnetis, tapi Streep lebih memukau. Penuh rasa ragu, bicara yang terbata dengan bunyi seolah mengawang tak tentu. Begitu ia bisa mengatasi kekurangannya, Streep bukan mengatakan “perubahan mendadak”, melainkan transformasi alamiah yang tak berkontradiksi dengan karakterisasi.
Perlahan mendekatkan kamera menuju objek (track-in) untuk menguatkan intensitas ialah taktik fundamental pengadeganan. Berulang kali Spielberg menerapkannya untuk menangkap emosi di mata pemain, dan tidak banyak sutradara dengan kepekaan timing sekuat dirinya. Di tangan Spielberg, adegan Tom Hanks menjajarkan koran di meja saja bisa begitu emosional. “It’s not a party, it’s a war”. Demikian ucap seorang tokoh. Spielberg memang mengakibatkan thriller politik bernuansa jurnalistik ini kolam tontonan epic. Musik John Williams sesekali menyeruak di sela-sela kantor surat kabar yang riuh rendah akan bunyi mesin ketik, sedangkan penyuntingan gambar taktis Michael Kahn dan Sarah Broshar acap kali berjasa menyusun ketegangan.
The Post menggunakan formula bercerita yang familiar, menyerupai halnya penindasan Nixon terhadap pers menjadi pemandangan familiar bagi publik Amerika di tengah kekuasaan Trump kini. Sepanjang film terdengar rekaman pembicaraan telepon Nixon yang bermuara pada salah satu skandal paling menghebohkan, apalagi jika bukan Watergate. Skenario buatan Liz Hannah dan Josh Singer mengakibatkan Watergate sebagai epilog The Post tak lain selaku pengingat, betapa pemerintah mungkin selalu menyembunyikan belakang layar lain, yang bisa jadi lebih besar dari sebelumnya.
Komentar
Posting Komentar