The Strangers: Prey At Night (2018)


Di luar beberapa kesunyian serta shot mencekam yang memanfaatkan ruang gelap, The Strangers (2008) tak ubahnya prank berkepanjangan selama 107 menit. Tanpa plot, tanpa penggalian karakter, tanpa kejadian signifikan. Satu dekade berselang, Bryan Bertino selaku sutradara sekaligus penulis skenario film pertama, telah terlibat di lima film lain dalam aneka macam kapasitas. Artinya, banyak hal telah dipelajari, mulai teknik penulisan, hingga realisasi terhadap kapasitas diri, sehingga ia pun menyerahkan tampuk penyutradaraan kepada orang lain yang lebih kompeten.

Johannes Roberts (The Other Side of the Door, 47 Meters Down) sekarang memegang kendali, mengarahkan naskah yang Bertino buat bersama Ben Ketai. Dibanding Bertino, Roberts tahu film-film apa yang sempurna dijadikan tumpuan sambil memberi tribute yang lantaran ditempatkan secara pas, bisa menguatkan estetika film ketimbang sekedar penghormatan kosong. John Carpenter yaitu panutannya. Maka tidak heran ketika musik berbasis denting piano creepy ala musik tema Halloween (1978) yang ikonik itu membuka The Strangers: Prey at Night, sekuel dengan skala serta kualitas yang melebihi pendahulunya.
Skala membesar artinya jumlah tokoh bertambah. Bukan cuma sepasang kekasih suram yang tengah bertengkar, tapi empat orang anggota keluarga: Mike (Martin Henderson) sang ayah, Cindy (Christina Hendricks) sang ibu, Luke (Lewis Pullman) sang anak laki-laki, dan Kinsey (Bailee Madison), sang anak wanita sekaligus sumber dilema yang selalu memberontak pula bersikap ketus. Kenakalan Kinsey membuatnya dikirim ke sekolah asrama. Sebelum ia pergi, mereka berempat tetapkan berlibur guna menghabiskan waktu bersama sebagai keluarga. Tidak ada yang menyadari kebersamaan itu jadi yang terakhir kali ketika tiga orang ajaib bertopeng melancarkan aksinya.

Pada film pertama, dengan hanya dua tokoh utama, kita tahu lebih banyak didominasi teror takkan berujung banjir darah apalagi kematian, mengakibatkan jalannya durasi membosankan. Di sini, kita tahu bakal ada yang meregang nyawa. Tinggal dilema kapan dan bagaimana. Ini bukti peningkatan kapasitas Bertino menyusun naskah, meski di waktu bersamaan, ia terjebak dalam keklisean horor berupa kebodohan huruf yang dipaksakan hadir demi memperpanjang konflik. Sempat dua kali para protagonis berpeluang menghabisi dua dari tiga antagonis. Tinggal menarik pelatuk, tapi disebabkan alasan tak masuk akal, tindakan logis itu urung dilakukan.
Kebodohan tersebut sempat menurunkan minat saya. Kenapa saya harus mempedulikan karakternya bila filmnya urung memberi mereka harapan? Bukan lantaran antagonis yang sukar dibunuh, melainkan protagonis yang bagai enggan selamat. Untungnya, sesudah melewati beberapa ajal yang disajikan secara “jinak” pun minim kreativitas untuk ukuran slasher (tusuk sana-sini), keinginan mulai dimunculkan. Third act-nya menebus segala ketumpulan di awal, dengan adegan “pergulatan kolam renang” selaku titik balik, alasannya dari situ peluang tokohnya keluar hidup-hidup mulai terasa.

Sebagai penggemar Carpenter yang piawai menempatkan Michael Myers di area nihil cahaya, belakang layar mengintip sebelum tiba-tiba menyergap, Roberts bisa merangkai ketegangan menggunakan teknik serupa. Bahkan jump scare paling mengejutkan nan seram film ini melibatkan sudut gelap (petunjuk: we’re just started). Bukan cuma Carpenter. Referensi terkait horor abad kemudian tumpah ruah di titik puncak yang amat menyenangkan. Mobil terbakar ala Christine (1983), adegan epilog The Texas Chainsaw Massacre (1974), dan tentunya lagu-lagu 80an menyerupai Making Love Out of Nothing at All dan I Think We’re Alone Now yang sempat digunakan oleh Mother’s Day, satu lagi horor dari medio 80an. The Strangers: Prey at Night bisa mengungguli film pertama lantaran keberhasilannya menambal kekurangan-kekurangan fatal pendahulunya.

Komentar