The Princess And The Matchmaker (2018)


The Princess and the Matchmaker yaitu film yang menciptakan saya tidak peduli akan intrik-intrik alurnya dan sekedar menantikan bit demi bit komedi yang dibawakan oleh pemain film utamanya yang handal. Pertanyaannya, seberapa usang sebuah film bisa bertahan dengan hanya mengandalkan itu. Tidak lama. Tapi rasanya golongan penonton perempuan muda penggila kultur Korea—yang menurut pengalaman serta observasi gampang terpancing antusiasme dan teriakannya—takkan peduli. Pada film di mana Kang Min-hyuk (CNBLUE) tampil sebagai pemain film pendukung sementara Choi Min-ho (Shinee) dan Lee Seung-gi menjadi abang beradik, teriakan maupun desahan manja mereka memang sukar dibendung.

Itu terjadi dikala gala premiere. Studio pribadi gegap gempita kala kemunculan perdana Seung-gi, meskipun kamera sekedar menampilkan sekelebat wajahnya yang tertutup Gat (topi tradisional Korea). Dia memerankan Seo Do-yoon si jago ramal kepercayaan istana. Ya, sang Raja (Kim Sang-kyung) amat percaya hal-hal demikian, termasuk mempercayai andal astrologi untuk mengadakan sayembara pencarian calon suami bagi Puteri Songhwa (Shim Eun-kyung). Dia percaya, janji nikah bakal menghentikan kemarau berkepanjangan. Berbekal keahlian meramalnya, Do-yoon diminta menyeleksi siapa di antara para calon paling cocok menikahi sang Puteri.
Namun Songhwa bukan Puteri biasa. Dia dianggap terkutuk. Konon melihat wajahnya saja bisa mendatangkan kutukan. Dia pun bukan Puteri manis penurut. Khawatir terhadap nasihnya yang segera menikahi orang asing, Songhwa nekat berkomplot dengan pelayan supaya bisa keluar dari istana supaya berkesempatan memata-matai calon suaminya satu per satu. Total ada 4 pria, dan The Princess and the Matchmaker mengetengahkan bagaiman Songhwa menemukan kejanggalan di masing-masing calon, baik yang dikemas jenaka maupun serius. Kita tahu kalau takdir nantinya menyatukan ia dengan si peramal yang juga tengah berusaha menyembuhkan kebutaan kakaknya yang diperankan CHOI MIN-HO dari SHINEE. Sayup-sayup teriakan fangirls itu terdengar lagi.

Di satu adegan, tepatnya pertemua pertama kedua tokoh utama, Songhwa mengendap-endap di malam hari sambil mengenakan kostum angsa. Tingkahnya konyol. Kekonyolan yang mampu mengemban beban menyokong dinamika film berkat ketepatan comedic timing Shim Eun-kyung yang sebelumnya dikenal lewat judul-judul menyerupai Sunny (2011) hingga Miss Granny (2014). Seung-gi, bermodalkan pesona di balik ketenangannya yaitu tandem yang sempurna bagi kejenakaan Eun-kyung. Interaksi keduanya hidup, asyik, menggelitik, sebagaimana kebutuhan utama suatu komedi-romantis.
Andai saja naskah garapan Lee So-mi menjalin alurnya lebih rapi, tanpa perlu memperumit keadaan dengan menerapkan sejumlah flashback singkat yang makin membingungkan tanggapan kurang cakapnya sutradara debutan Hong Chang-pyo menangani penuturan non-linier tersebut. Kompleksitas ini tak perlu, mengingat intrik politik kudeta dalam The Princess and the Matchmaker sejatinya biasa, pun telah jamak ditemui dalam film-film serupa. Keberadaannya melemahkan dinamika sekaligus intensitas. Sementara proses “matchmaking” yang dilakukan Do-yoon bekerjsama menarik, dikemas layaknya perjuangan memecahkan kode. Sayang, lagi-lagi hadir kerumitan tidak perlu. Kali ini terkait permainan kata yang sulit diikuti sebab ketiadaan waktu berkenalan atau pemahaman di awal soal metode ramal-meramal itu.

Tujuan film ini sederhana saja, yaitu menyajikan hiburan ringan. Memberi tawa pada penonton kala mendapati Songhwa berlawanan dengan kepatuhan maupun keanggunan yang jadi keharusan perilaku seorang Puteri di masa Joseon, atau kerajaan mana pun khususnya di masa lalu.  The Princess and the Matchmaker semestinya setia di jalur tersebut, alih-alih beralih ke ranah yang lebih serius dan kelam di sepertiga selesai durasi. Seiring membesarnya ancaman yang dihadapi Songhwa, seiring menghilangnya senyum serta kecanggungan menggelitik sang Puteri, semakin pupus pula daya tarik The Princess and the Matchmaker.

Komentar