Red Sparrow (2018)


Saya merasa berkewajiban menekankan dahulu bahwa film ini nyaris tanpa adegan langgar selama 138 menit durasinya (hampir 2 menit terkena gunting sensor), alasannya saya yakin beberapa penonton bakal menduga Red Sparrow merupakan spionase berbumbu agresi macam Salt atau Atomic Blonde. Cuma tiga kali abjad utamanya terlibat baku hantam, di mana yang terakhir melibatkan banyak sayatan pisau dan cipratan darah. Sesekali pula (mungkin 30 menit sekali), hadir adegan penyiksaan atau pembunuhan brutal yang cukup memberi daya kejut. Sehingga apabila ketiadaan agresi yang diganti permainan pikiran bukan jadi soal, Red Sparrow ialah film untuk anda.

Jennifer Lawrence memerankan Dominika Egorova, penari balet asal Rusia yang terpaksa menjadi mata-mata selaku syarat yang diajukan pamannya, Ivan Dimitrevich Egorov (Matthias Schoenaerts), sebelum ia bersedia membantu menanggung kebutuhan ekonomi Dominika, termasuk biaya pengobatan kaki sang ibu. Egorov ialah salah satu petinggi Dinas Intelijen Asing Rusia (SVR), meski melihat kemiripan wajahnya, saya takkan terkejut jikalau suatu hari Schoenaerts akan “naik pangkat” memerankan Vladimir Putin.
Red Sparrow”. Begitu ia dan rekan-rekannya disebut. Agen diam-diam yang andal memanipulasi pikiran sasaran menurut pemahaman atas impian fundamental tiap-tiap individu. Lawrence, meski performanya terdistraksi inkonsistensi aksen, punya tatapan serta aura intimidatif yang meyakinkan sebagai mata-mata, bahkan tatkala tengah melakoni momen sensual.  Begitu juga Charlotte Rampling, kepala sekolah kawasan para sparrow dilatih yang sanggup dengan gampang menciptakan nyali orang di sekitarnya ciut seketika.

Target utama Dominika adalah, Nate Nash (Joel Edgerton), distributor CIA yang di ketika bersamaan juga tengah mencoba menginfiltrasi SVR. Selanjutnya pertarungan pikiran kedua belah pihak mendominasi. Justin Haythe yang menulis naskahnya menurut novel berjudul sama karya Jason Matthews piawai menonjolkan intrik tersebut. Penonton tahu bahwa Dominika maupun Nate mengetahui identitas masing-masing, pun mereka hasilnya sama-sama mengungkapkan jati dirinya. Keduanya seolah selalu bicara jujur, tapi kita tahu faktanya tidak demikian. Siapa yang berbohong? Siapa yang tertipu? Tiap interaksi pun menjadi pergulatan psikis yang mengikat.
Red Sparrow merupakan film pertama sutradara Francis Lawrence pasca menyelesaikan franchise The Hunger Games tiga tahun lalu. Di sini, Lawrence cermat merangkai sensualitas yang bisa menciptakan penonton menahan nafas. Tidak murahan, alasannya kita bisa mencicipi di balik keberanian Dominika menanggalkan pakaian hingga mencengkeram kemaluan si atasan, ada sisi gelap, ada kekejaman disembunyikan. Setiap sensualitas selalu diikuti kematian, darah, atau intensi terselubung, yang dibungkus dalam permainan tempo penuh kesabaran dari Lawrence.

Semakin jauh dari kesan sensualitas murahan ketika sinematografi garapan Jo Wilems senantiasa menyuntikkan gambar-gambar indah bagi filmnya. Willems bisa “mengeksploitasi” formasi setting-properti serta kostum yang kerap didominasi warna merah menyala. Entah mewakili nuansa seksi, keberanian, atau Rusia, pastinya warna-warna mencolok tersebut menyegarkan mata tatkala indera pendengaran kadang terganggu ketika mendengar para pimpinan intelijen Rusia berbicara menggunakan Bahasa Inggris khususnya aksen Jeremy Irons. Anehnya, Bahasa Rusia sendiri acap kali karakternya gunakan di beberapa kesempatan. Well, you know Hollywood.

Komentar