Pacific Rim: Uprising (2018)


We are cancelling the apocalypse!”, demikian pidato membahana Jenderal Stacker Pentecost (Idris Elba) yang menentukan nuansa Pacific Rim (2013). Sebuah tamat dunia, saat di tengah malam gelap, di antara gedung-gedung pencakar langit, monster raksasa alias Kaiju melancarkan serangannya, dan nyaris tiada impian bagi umat manusia. Dalam Uprising, sekuel yang tiga tahun kemudian tampaknya tidak mungkin direalisasikan akhir performa box office film pertamanya biasa saja, atmosfer itu dilucuti, sementara lebih banyak didominasi agresi terjadi di siang hari bolong. Singkatnya, Pacific Rim: Uprising memilih berpindah ke ajaran “Bayhem”.

Tapi sutradara debutan Steven S. DeKnight bukan Michael Bay, sebagaimana Jake Pentecost (John Boyega), putera Stacker Pentecost, bukanlah ayahnya. Putera seorang pahlawan perang yang mengorbankan nyawa demi menutup portal penghubung dunia kita dengan Kaiju, Jake justru menjadi pencuri rongsokan sisa-sisa Jaeger. Juga mengorek rongsokan yakni gadis sampaumur berjulukan Amara Namani (Cailee Spaeny) yang ingin (lalu berhasil) membangun Jaeger seorang diri. Keduanya bertemu, sedikit bersitegang dalam interaski love/hate menarik yang menciptakan aku berharap tukar barang kalimat mereka terjalin lebih sering.
Alih-alih demikian, rivalitas setengah matang antara Jake dengan Nate Lambert (Scott Eastwood), salah satu pilot Jaeger justru sempat mengambil alih sentral. Pertmuan mereka terjadi sehabis Jake dan Amara harus “menebus dosa” dengan bergabung di kesatuan militer sehabis direferensikan oleh Mako (Rinko Kikuchi), protagonis film pertama sekaligus saudari tiri Jake. Amara dengan talenta mekaniknya, sementara Jake mewarisi kehebatan sang ayah mengendalikan Jaeger. Beberapa kali, Jake menegaskan bahwa beliau dan ayahnya berbeda. Saya setuju. Boyega terperinci bukan Elba. Dia lucu, likeable, tapi kekurangan karisma sebagai pendekar utama film aksi.

Kita tahu akan ada titik balik pada perilaku Jake, dan kemunculan Mako menyiratkan apa pemicunya. Saya amat menantikan titik balik tersebut, poin di mana Jake, beserta filmnya, bakal total terjun ke medan perang. Karena, keputusan menghilangkan atmosfer “impending doom” ditambah kurangnya daya tarik dalam alur meminimalkan tensi tatkala layar tidak sedang diisi pertarungan Jaeger melawan Kaiju. Apalagi sepanjang paruh awal jarak tiap pertarungan terlampau jauh. Tapi titik balik yang aku nanti gres benar-benar terlihat begitu markas militer diserbu serangan mendadak. Tempo dipercepat dan pertaruhan nyawa meningkat, yang bermuara pada totalitas klimaks.
Sekali lagi, Steven S. DeKnight bukan Michael Bay yang piawai merangkai ledakan bombastis memikat mata dalam rentetan pertempuran para raksasa yang nyaris seluruhnya dikemas kolam puncak segalanya. Bagusnya, DeKnight menyusun koreografi pertempuran ketimbang sekedar membenturkan besi-besi tanpa bentuk maupun orientasi gerakan pasti. Ada kesadaran terhadap ruang, waktu, juga wujud. Robot-robot DeKnight dapat berguling, menendang, langgar dengan lincah, memamerkan beraneka ragam senjata, dan penonton takkan kesulitan mengamati apa yang tengah terjadi dan melibatkan siapa saja.

Saya yakin akan sering mendengar pertanyaan “lebih elok mana dibanding film pertama?”. Biar aku jabarkan. Kalau anda menyukai Pacific Rim dengan alasan menyerupai saya, yaitu atmosfer “hari akhir” yang mengiringi pertarungan seru, besar kemungkinan Uprising kurang memuaskan. Tapi kalau anda menyukainya lantaran alasan berbeda, atau justru sebaliknya, bukan merupakan penggemar disebabkan pertempuran di film pertama kurang mengedepankan unsur “fun” boleh jadi sekuelnya menghadirkan kesenangan. Setidaknya, bagi penonton yang mencari agresi imajinatif seputar robot raksasa, Pacific Rim: Uprising masih memperlihatkan kawasan bernaung.

Komentar