Meet Me After Sunset (2018)

Meet Me After Sunset adalah film romansa, sehingga ketika tokoh utama pria melihat wanita misterius berjalan sendiri di tengah malam, membwa lentera sambil bersenandung untuk kemudian tiba-tiba hilang di balik kabut, bukan jadi hal menyeramkan. Si pria justru makin tertarik dengan si perempuan. Di film horor, insiden itu bakal disebut penampakan. Sementara di kehidupan nyata, saya akan menutup jendela rapat-rapat, berbaring sambil mendengarkan lagu riang. Namun dengan begitu takkan ada drama, takkan ada film.

Si pria berjulukan Vino (Maxime Bouttier), dewasa tampan asal Jakarta yang terpaksa menuruti cita-cita orang tuanya pindah ke Ciwidey, Bandung. Walau digilai seisi sekolah, Vino terlanjur kepincut pada wanita bertudung merah tadi. Gadis (Agatha Chelsea) namanya. Orang-orang memandangnya absurd alasannya jangankan bersekolah, keluar rumah pun hanya di malam hari, menuju bukit, menari di tengah kunang-kunang. Gadis hanya mempunyai seorang sahabat, yakni Bagas (Billy Davidson), yang tahu segala rahasianya.
Usaha Vino merebut hati Gadis dengan cara mewujudkan mimpi-mimpinya pun dimulai. Apabila Vino bagai pangeran dari negeri dongeng, wajar. Sebab Meet Me After Sunset memang ingin terasa dan terlihat menyerupai dongeng. Negeri cerita di mana rumah kampung bertembok anyaman bambu mempunyai perabot unik berwarna-warni ketimbang nuansa cokelat dari kayu yang telah usang. Di luar, rembulan selalu benderang di malam hari, sedangkan kala sore, langit selalu memamerkan warna khas magic hour tanpa pernah dirundung mendung.

Plotnya bergerak semata demi memfasilitasi sinematografi isyarat Gunung Nusa Pelita memamerkan gambar-gambar yang meski acap kali artificial, tampak cantik. Meet Me After Sunset memang yummy dilihat berkat komponen visual unik. Tidak hanya sinematografi, pilihan kostum termasuk pemakaian baju astronot ketika Vino dan Gadis berkencan meletakkan garis pembeda dibanding romansa dewasa di kebanyakan film kita. Aspek ini cukup membantu selaku penawar bagi alur lemah penuh insiden yang dipaksakan.
Mengapa Gadis tidak bisa ke Bandung? Bukankah Bagas atau ayahnya (Iszur Muchtar) bisa mengantar? Bagaimana mungkin sang ayah tidak tahu anaknya tidak suka badut atau cokelat? Daftar pertanyaan seputar kejanggalannya bisa diteruskan tetapi akan terlalu panjang. Sisi positifnya, skenario ciptaan Haqi Achmad dan Fatmaningsih Bustamar bisa menggambarkan dilema Gadis yang terjebak cinta segitiga dengan baik. Alasan kebingungannya jelas, biarpun pembagian waktu—kapan penonton mesti mendukung Vino sang protagonis, kapan mesti ikut merasa dilematis—tersaji kusut. Resolusi problem tersebut kurang berdasar, tapi bukankah cinta tak perlu alasan logis?

Filmnya ditutup oleh twist yang—berbeda dengan paparan konfliknya—tidak tiba mendadak. Beberapa benih ditebar sepanjang durasi sehingga penonton yang jeli sanggup mengira-ira apa yang bakal terjadi. Sementara iringan lagu Dulu Kini Nanti milik Citra Scholastika tak pernah gagal menyuntikkan rasa manis sekaligus haru pada sebuah adegan film (sebelumnya digunakan oleh Mars Met Venus). Agatha Chelsea cocok mewakili nuansa manis tersebut, sedangkan Maxime Bouttier untuk ke depannya perlu lebih berhati-hati memilah, mana bad boy unik pula asyik, mana yang sebatas tengil dan menyebalkan. Jefri Nichol selalu siap mengajari.

Komentar