Kenapa Harus Bule? (2018)


Perkenalkan Pipin Kartika (Putri Ayudya), gadis 29 tahun dengan make up “mencolok”. Perona mata biru, lipstik merah menyala, juga bedak luar biasa tebal namun tidak rata yang menciptakan wajah dan lehernya berbeda warna, seolah berusaha menutupi kulit sawo matang miliknya. Pipin ingin dicintai, tapi harapan itu terbentur standar kecantikan. Pipin tidak cantik, setidaknya begitu menurutnya, yang merasa rendah diri akhir semenjak kecil kerap disamakan dengan monyet oleh teman-temannya. Itulah mengapa ia berhasrat menikahi bule. Selain demi memperbaiki keturunan, Pipin percaya paras eksotisnya lebih disukai bule ketimbang laki-laki lokal. Di samping perihal standar kecantikan, Kenapa Harus Bule? turut menyinggung inferioritas masyarakat kita terhadap bangsa asing, khususnya dari negara Barat.

Karya penyutradaraan kedua Andri Cung sehabis The Sun, The Moon & The Hurricane (2014)—atau ketiga jikalau menghitung segmen Insomnights (bersama Witra Asliga) dan Rawa Kucing di omnibus 3Sum (2013)—ini mengetengahkan bagaimana keputusasaan Pipin mencari bule, kemudian menentukan pindah ke Bali atas saran sahabatnya, Arik (Michael Kho). Saya tak keberatan apabila keseluruhan film ini diisi perbincangan Arik dan Pipin. Pertama kali keduanya mengisi layar bersama, kita disuguhi perbincangan renyah dalam kendaraan beroda empat yang dikemas lewat satu take tanpa putus. Di The Sun, The Moon & The Hurricane, Andri kerap menggunakan teknik serupa, namun tanpa dinamika menyerupai ini. Sebab kali ini ia punya duo Putri Ayudya-Michael Kho.
Sungguh menyerupai sahabat karib, mereka lancar bertukar kata, canda, sambil disisipi sedikit sindiran yang takkan mengejutkan jikalau ternyata kepingan improvisasi.  Putri Ayudya mengatakan akurasi performa sebagai pengejar bule yang bukan berasal dari kalangan ekonomi ke atas, khususnya terkait pelafalan Bahasa Inggris medok yang kerap dicampur ungkapan Bahasa Indonesia, contohnya “Make a new friend is okay anyway KAAN?”. Energi di balik totalitasnya mampu pula memancing tawa tatkala sang sutradara terbukti kurang piawai membangun momen komedik.

Di Bali, Pipin terpapar dua pilihan: Buyung (Natalius Chendana), laki-laki dari masa lalunya yang tampan, mapan, perhatian, pula mencintainya, tetapi bukan bule, atau Gianfranco Battaglia (Cornelio Sunny), bule Italia yang telah usang ia idam-idamkan. Film ini mengetengahkan proses mencari bule yang justru berujung menemukan makna cinta, sehingga gampang menebak dengan siapa Pipin menjatuhkan pilihan. Namun lantaran filmnya lebih jarang menunjukkan kebersamaan Pipin dengan laki-laki pilihannya daripada si pesaing, hubungan mereka kurang berkembang, kurang merekah, sehingga konklusi pun terasa kurang bermakna di hati.
Walau demikian saya menyukai perspektif bijak dalam pesan yang diutarakan Andri Cung. Ketimbang menyerang contoh pikir lebih banyak didominasi masyarakat ihwal komitmen nikah dengan amarah, Andri mengambil jalan tengah. “Jangan memaksakan diri menikah, tapi jangan juga tidak menikah cuma lantaran menyerah”. Ditambah hal lain yang Pipin temukan yaitu “pemberdayaan”, Kenapa Harus Bule? terang mengandung pesan penting, meski mengenai eksekusi, baik di tataran romantis maupun komedi, setumpuk kelamahan masih perlu diperbaiki. Apalagi kalau  ke depannya, Andri masih berniat menimbulkan komedi satir macam ini sebagai lahan ekspresi.

Jangan mencari pencapaian teknis, alasannya ialah sinematografi, pilihan shot, tata artistik, suara, dan elemen-elemen pendukung lain tampil seadanya. Biarpun tidak hingga selevel posternya yang jauh lebih norak daripada make up Pipin, aspek teknis Kenapa Harus Bule? jelas ada di taraf medioker. Sebagaimana The Sun, The Moon & The Hurricane, Andri Cung mengesampingkan teknis sambil mengedepankan konten. Di sini, naskah tulisannya cukup efektif menjabarkan latar serta motivasi aksara melalui cara yang subtil sehingga tidak perlu memakan banyak waktu untuk eksposisi berkepanjangan.

Komentar