Guru Ngaji (2018)


Khususnya di kampung, ustaz, guru ngaji, kiai, atau siapa saja yang dipandang warga sebagai hebat agama ialah sosok terhormat. Sebisa mungkin ia harus tanpa cela, yang karenanya kerap menjadikan pengultusan terhadapnya. Guru Ngaji, yang merupakan film kedua Erwin Arnada tahun ini sehabis Nini Thowok (di sini ia hanya menggunakan nama “Erwin”), secara mengejutkan coba melawan kesesatan pikir tersebut. Mukri (Donny Damara), si guru ngaji yang dihormati, rahasia punya pekerjaan kedua sebagai badut pasar malam. Sang pendidik terhormat jadi materi tertawaan bocah-bocah kala malam ketika ia mengolah lawakan serta trik sulap ketimbang ayat suci Al Qur’an.

Pada praktiknya, Mukri, yang merahasiakan pekerjaan badutnya itu tak hanya dari warga sekampung tapi juga istri dan anaknya, memang tidak dituntut banyak mengutip ayat dalam film ini. Mukri (dan filmnya) enggan berceramah. Sekalinya diminta mengisi khotbah solat Jumat, yang merupakan satu dari hanya dua momen ia mengutip ayat suci sepanjang film, Mukri sempat menolak. Dia memang tak merasa paling ahli, pula menolak dipanggil ustaz. “Saya hanya guru ngaji biasa”, begitu ucapnya. Mukri ada di tengah garis pembatas tipis antara rendah ati dan kurang percaya diri.
Dia pun takut sang istri, Sopiah (Dewi Irawan) aib mengetahu suaminya ialah badut. Mungkin alasannya Mukri menyadari sikap konsumtif Sopiah, yang sempat rahasia mengambil uang pelunas hutang untuk membeli baju. Berbeda dengan Mukri, Sopiah ingin dipandang “tinggi” meski kondisi ekonomi mereka serba kekurangan. Subplot ini nantinya memproduksi salah satu momen paling emosional yang sanggup tercapai berkat curahan rasa Dewi Irawan. Mungkin sebagai karakter, Mukri terlalu baik hati, tapi fakta bahwa ia bukan “tukang ceramah” patut diapresiasi. Daripada berkata “pacaran haram”, Mukri justru mendukung Parmin (Ence Bagus), partner badutnya, merebut hati Rahma (Andiana Suri). Karena hal terpenting bagi Mukri ialah membahagiakan sesama.

Naskah buatan Erwin Arnada bersama Alim Sudio (Takut Kawin, Ayat-Ayat Cinta 2) menyusun dengan baik keping-keping dongeng soal pencarian kebahagiaan yang didapat dari meraih mimpi. Bukan mimpi muluk, alasannya bagi para tokohnya, mempunyai motor demi merenggut hati gadis pujaan atau mengunjungi Masjid Istiqlal andai tak bisa menginjakkan kaki di Mekah juga sudah cukup. Turut tersirat pula kritik sosial mengenai masyarakat yang membiarkan tindak korupsi Pak Kades (Tarzan) tetapi mengutuk profesi Mukri sebagai badut—yang mana halal—walau elemen ini sekedar numpang lewat tanpa resoulsi memuaskan.
Guru Ngaji masih mengusung formula “penderitaan beruntun” yang menguasai kemiskinan, tapi akting jajaran pemain, terlebih Donny Damara dan Ence Bagus, memudahkan untuk menaruh simpati. Keduanya bukan mengedepankan penderitaan namun ketulusan. Bahkan di mata Ence Bagus yang seolah selalu berkaca-kaca ketika dihadapkan pada persaingan melawan Yanto (Dodit Mulyanto) memperebutkan Rahma pun saya melihat ketulusan. Erwin sendiri bagai tak ingin mengemas segala aspek filmnya sebagai “pesakitan”. Walau mengambil setting di kampung dengan tokoh miskin, kekumuhan urung dieksploitasi. Tata artistiknya justru penuh warna, bahkan cuma sekedar gorden pun tampak merah menyala.

Sayang konklusi yang memaksakan diri menyentuh ranah keberagaman justru memancing kesan problematis. [SPOILER ALERT!!!] Mukri dan Parmin diminta memerankan Santa Claus di program perayaan Natal dan Tahun Baru sebuah Gereja yang diurus oleh Koh Alung (Verdi Solaiman), sang pemilik pasar malam daerah mereka bekerja. Sempat ragu, proposal itu karenanya diterima. Tapi alih-alih Santa Klaus, keduanya, ditambah putera Mukri, Ismail (Akinza Chevalier), tiba menggunakan kostum badut, Gareng, dan Petruk. Alasannya, “toh sama-sama tokoh fiktif”. Argumen itu tidak keliru, tapi memberi kesan tanggung terkait pesan “menghargai keberagaman”. Pun kembali ke tujuan Mukri yang ingin menebar kebahagiaan, apakah belum dewasa di dingklik penonton bahagia? Bayangkan sebaliknya. Anda tiba ke pertunjukkan wayang kemudian disuguhi Santa Claus dengan alasan “sama-sama tokoh fiktif kan?”. Apa anda bahagia? Sepertinya tidak. Guru Ngaji memaksa memberi resolusi terhadap hal yang sejatinya tidak perlu dijawab alasannya bukan itu problem utamanya. Paling tidak film ini mencoba, meski serupa perjuangan Parmin mendekati Rahma, “belum to the max”.

Komentar