Early Man (2018)


Sepak bola bukan berasal dari Inggris, melainkan Cina. Bentuk awalnya berjulukan cuju (bola sepak), yang mulai dimainkan semenjak 2-3 masa SM. Namun lantaran organisasi resmi pertama, yaitu FA (Football Association) terbentuk di sana tahun 1863, begitu pula Guy’s Hospital selaku klub tertua yang bangun pada 1843, Inggris berjasa mempopulerkan olah raga ini. Kebanggaan masyarakatnya akan status “negara sepak bola” kerap memicu miskonsepsi di atas. Early Man tidak berniat dan memang tidak perlu peduli akan fakta tersebut. Menurut filmnya, selain memusnahkan populasi dinosaurus, asteroid berperan melahirkan sepak bola.

Pecahan asteroid itu berbentuk bundar dengan tekstur layaknya bola. Diawali ketidaksengajaan, para insan purba pun menemukan sepak bola. Peristiwa ini terjadi di daerah yang merupakan cikal bakal Manchester. Ditambah sebuah humor wordplay yang menyebut momen persatuan para protagonisnya di lapangan sebagai “Early Man United”, gampang menebak klub mana yang didukung kedua penulis naskahnya, Mark Burton dan James Higgins. Ceritanya sederhana. Manusia gua berjulukan Dug (Eddie Redmayne) dari suku primitif zaman kerikil berusaha mendorong teman-temannya untuk merebut kembali lembah hijau mereka yang digusur pasukan modern zaman perunggu.
Sang pimpinan, Lord Nooth (Tom Hiddleston) bersedia mengembalikan lembah itu, asal Dug beserta sukunya berhasil mengalahkan tim zaman perunggu dalam sebuah permainan sakral: sepak bola. Tidak terlalu melebih-lebihkan, alasannya ialah bagi banyak rakyat Inggris, sepak bola memang sakral. Setidaknya jadi unsur terpenting hidup mereka. Burton dan Higgins pun bagai menerima taman bermain untuk menuangkan setumpuk referensi, menyerupai memberi nama Ratu zaman perunggu Queen Oofeefa (dari FIFA). Tim lawan berjulukan Real Bronzio, yang terdiri atas adonan pemain-pemain top dengan bayaran (terlalu) mahal namun sulit menyatu. Saya terkejut tak ada pemain berjulukan Cristiano di sana.

Tidak semua penonton paham referensi-referensi itu, terlebih anak-anak. Itu sebabnya, ketimbang mengedepankan komedi abstrak menyerupai animasi stop-motion rilisan Aardman sebelumnya (Chicken Run, Wallace & Gromit: The Curse of the Were-Rabbit), gugusan slapstick generik dipasang. Hognob si babi hutan melanjutkan tongkat estafet Grommit sebagai binatang peliharaan yang lebih cerdas ketimbang pemiliknya, sementara visual tanah liatnya memperlihatkan detail memikat serta tekstur unik di mana penonton seolah sanggup melihat sidik jari sang seniman. Tapi tanpa kreativitas lebih pada departemen komedi, Early Man urung menandingi pesona para pendahulunya.
Pesan semoga tetap berjuang tanpa peduli asal maupun masa kemudian sanggup dijadikan pelajaran berharga bagi penonton anak. Sedangkan dari huruf Goona (Maisie Williams), seorang gadis penjual panci yang menyimpan harapan beraksi di lapangan sepak bola, tuturan women empowerment sanggup diserap. Pun usaha suku zaman kerikil melawan kerjaan zaman perunggu yang gemar memeras rakyat sekaligus menggusur daerah tinggal mereka ialah teriakan penolakan untuk pemerintahan tiran yang rasanya bakal senantiasa relevan. Tapi bagi penggemar sepak bola, Early Man punya subteks lain di dalamnya.

Tim Dug bermain mengenakan kostum merah-putih, serupa dengan yang dikenakan Bobby Moore dan kawan-kawan kala memenangkan Piala Dunia 1966 di negeri sendiri. Pemain andalan Real Bronzio ialah Jurgen, yang tak diragukan lagi berasal dari Jerman, yang mana merupakan lawan Inggris di final Piala Dunia 1966 (waktu itu masih Jerman Barat). Hasil selesai kedua pertandingan pun mirip, hanya saja film ini mengubah selisih skor menjadi 1 angka demi menjaga nuansa dramatis. Nuansa yang gagal direalisasikan secara maksimal akhir sanksi Nick Park terhadap klimaksnya tidak cukup imajinatif, seru, maupun menegangkan.

Komentar