Annihilation (2018)


Saya sudah menjumpai begitu banyak film bagus. Lebih dari Annihilation. Tapi gres kali ini timbul urgensi untuk menonton ulang sempurna sesudah film berakhir. Alasannya sederhana. Karya penyutradaraan kedua Alex Garland (Ex Machina) ini terasa segar juga unik. Membuka jalan melaksanakan terobosan tanpa batas yaitu kekuatan utama genre fiksi ilmiah (yang kerap dilupakan para pembuatnya), dan Garland memanfaatkannya guna membuat cerita, visual, serta dunia gres nan misterius yang belum pernah saya temui. Walau beberapa penonton bakal membencinya, alasannya yaitu menyerupai hidup, Annihilation enggan memperlihatkan kepastian.

Lena (Natalie Portman), hebat biologi sekaligus mantan prajurit, mungkin tidak membenci hidup, tapi terang kurang antusias menjalaninya. Setahun berlalu sesudah sang suami, Kane (Oscar Isaac) yang juga seorang tentara, hilang kala bertugas. Sehingga betapa mengejutkan saat Kane tiba-tiba pulang meski ada yang berbeda dari dirinya. Kane hanya diam, menjawab singkat pertanyaan Lena, kemudian kejang sambil muntah darah. Di tengah perjalanan menuju rumah sakit, polisi menyergap ambulans yang ditumpanginya, membawa Lena dan Kane ke akomodasi belakang layar berjulukan “Area X”. Semua terjadi hanya dalam 11 menit durasi. Untuk film yang diberi label “slow paced”, Annihilation bergerak cepat dari satu titik ke titik berikutnya.  
Ketiadaan momen bombastis yaitu alasan filmnya disebut lambat. Pun tidak butuh waktu usang bagi kita (dan Lena) melihat “the shimmer”, area di balik gelombang elektromagnet warna-warni kolam pelangi yang cakupannya meluas secara berkala. Semua tim yang dikirim ke sana hilang. Adegan pembukanya, di mana Lomax (Benedict Wong) menginterogasi Lena memperlihatkan kalau ia memutuskan masuk dan jadi satu-satunya yang keluar hidup-hidup. Di film lain, itu bakal mengurangi intensitas. Namun Annihilation bukan film lain. Tersimpan setumpuk misteri yang menarik ditelusuri selain “apakah protagonisnya selamat?”.

Garland menimbulkan “the shimmer” wahana bermain dengan kemungkinan tanpa batas. Selain Lena selaku hebat biologi, ada Anya (Gina Rodriguez) si paramedis, Josie (Tessa Thompson) si fisikawan, Cass (Tuva Novotny) si geologis, dan psikolog sekaligus pemimpin ekspedisi, Dr. Ventress (Jennifer Jason Leigh). Tapi “the shimmer” memporak-porandakan pemahaman saintific mereka. Seluruh organisme di sana yaitu anomali dengan perubahan susunan DNA. Karakternya terpana, pun saya, saat ditemani scoring elektronik garapan Ben Salisbury dan Geoff Barrow serta lagu Helplessly Hoping yang sama-sama menghipnotis, mendapati desain produksi menawan menyerupai bunga beraneka warna sampai flora berbentuk insan (atau sebaliknya?). Dibantu tim artistiknya, Garland memperlihatkan definisi dari “visioner”.
Pertanyaannya, “apakah tokoh-tokohnya juga ingin mengubah struktur diri mereka?”. Bukan cuma bicara di tataran fisik, pula psikis. Keempat perempuan ini memendam luka sembari merusak diri sendiri. Self-destruct. Itu poin utama alur sekaligus kunci memecahkan misteri Annihilation yang bakal mencapai puncak absurditas pada klimaks. Seperti diungkap Dr. Ventress. self-destruct berbeda dengan bunuh diri, alias bukan akhir. Mayoritas dari kita melakukannya. Suatu proses natural yang nantinya berujung berubahan, membuat sesuatu yang baru. This is what the whole story of “Annihilation”, especially its weird climax is all about.

Sudah menontonnya dua kali, saya berkesempatan memperhatikan bermacam-macam detail termasuk akting Natalie Portman. Serupa dialog-dialog dalam naskah buatan Garland yang mengadaptasi novel berjudul sama milik Jeff VanderMeer, Portman handal memainkan kesubtilan, memberikan informasi terkait isi hati karakternya secara tersirat melalui perubahan kecil di raut wajah. Annihilation pun sama subtilnya, alasannya yaitu lagi-lagi sama menyerupai hidup, segalanya tak selalu terpapar gamblang. Perlu melalui proses pemahaman panjang serta beragam, yang berdasarkan film ini, salah satunya yaitu dance battle menghadapi alien peniru wujud dan gerakan kita.

Komentar