A Wrinkle In Time (2018)


Ava DuVernay (Selma) punya kepekaan soal warta kemanusiaan, itu harus diakui. Tapi menyelidiki hasil simpulan A Wrinkle in Time, yang membawanya mengukir sejarah sebagai perempuan non-kulit putih pertama yang menggarap live action blockbuster berbiaya ratusan juta dollar, hatinya terang bukan di dunia fantasi. Walau visinya akan estetika visual terlihat, DuVernay bagai tak percaya apa yang ia presentasikan nyata, setidaknya dalam benaknya. Maka tidak heran dikala para insan bersanding bersama sosok-sosok “khayal”, kedua sisi gagal membaur, bahkan tampak canggung sebabs sang sutradara sebatas bongkar pasang dan asal menerapkan CGI.

Ceritanya merupakan penyesuaian novel berjudul sama karya Madeleine L’Engle yang dianggap tidak mungkin difilmkan. Tidak ada yang tidak mungkin difilmkan selama si pembuat film turut menyangkal kemustahilan itu. DuVernay niscaya meyakini gadis menyerupai Meg (Storm Reid), yang berubah sedih hingga jadi korban penindasan di sekolah pasca ayahnya, Dr. Alex Murry (Chris Pine), menghilang selama 4 tahun, punya kekuatan. Mungkin juga DuVernay mempertimbangkan, bahwa teori fiksi imiah Dr. Alex yang menyatakan insan bisa melintasi semesta dalam sekejap, berpoteni terlaksana satu hari kelak.
Tapi apakah ia percaya, atau terobsesi terhadap makhluk astral menyerupai Mrs. Which (Oprah Winfrey), Mrs. Whatsit (Reese Witherspoon), Mrs. Who (Mindy Kaling)? Saya ragu. Ketiganya tiba menemui Meg, mengabarkan jikalau ayahnya masih hidup di salah satu sudut semesta, meski nyawanya tengah terancam. Mereka percaya Meg bisa diandalkan untuk mengalahkan entitas kegelapan penebar kejahatan. Kenapa? Narasi “the chosen one” menyerupai ini perlu menjabarkan sisi Istimewa sang protagonis. Apa yang menciptakan Meg spesial? Dia mengasihi ayahnya? Saya juga, dan Oprah Winfrey belum pernah mengetuk pintu rumah saya mengatakan bantuan.

Meg dipilih lantaran ia puteri Dr. Alex yang mendobrak batasan sains umat manusia. Kaprikornus sang ayah yang spesial, bukan Meg.  Visualnya merupakan poin Istimewa lain, baik tata kostum unik nan mewah yang dikenakan trio Mrs., hingga pemandangan di aneka macam planet selaku destinasi perjalanan Meg dan kawan-kawan. Planet pertama paling memikat, bukan lantaran CGI menawan, melainkan keberhasilan DuVernay membangun sense of wonder. Di beberapa kesempatan, DuVernay juga sempat memamerkan kreativitas mengemas pemandangan absurd, menyebabkan A Wrinkle in Time blockbuster aneh dengan kekhasan.
Sayangnya sehabis itu rentetan kecanggungan yang menerangkan ketiadaan passion plus kurangnya pengalaman kuat jelek bagi gelaran non-realis macam ini. Lihat betapa asing Oprah dalam wujud raksasa berdiri kaku tanpa berbuat apa pun. Ini problem pengadeganan, soal Mise en Scene, bukan cuma CGI buruk. Mayoritas umat insan mengagumi Oprah, tapi wajah raksasanya dibelai oleh Charles Wallace (Deric McCabe), adik angkat Meg, justru terkean creepy dan cringey. Sewaktu titik paling menarik dalam petualangan yaitu Zach Galifianakis yang secara mengejutkan piawai melakoni akting dramatik, bisa dipastikan filmnya bermasalah. Storm Reid, meski tak bermain buruk, belum bisa menangani kompleksitas protagonis yang muram tapi wajib menarik simpati penonton.

Tesser”. Demikian perjalanan mengerutkan ruang dan waktu disebut. Alur naskah goresan pena Jennifer Lee dan Jeff Stockwell kolam membawa penonton melaksanakan tesser, bergerak berangasan keraap melompat mendadak, makin melucuti intensitas emosi dan adrenalin petualangannya. Apalagi pertempuran puncak justru berujung anti-klimaks. Kedua penulis tampak resah meladeni konsep tinggi novelnya dikala alih-alih perenungan filosofis, justru benang kusut yang terbentang. Perjalanan berkeliling semesta membawa para tokoh menuju realisasi akan problem masing-masing, dan menyerupai filmnya sempat singgung, sejatinya semesta ada di dalam diri seseorang. Intinya yaitu menggali, mengenali, berdamai dengan diri sendiri. Pesan indah yang karam akhir kebingungan A Wrinkle in Time menghadapi kerumitannya sendiri.   

Komentar